Jumat, 25 Desember 2009

Perjalanan Atma

Penemuan Manusia Antara Surga, Neraka, Bumi

(Perjalanan Atma, Mencari Bekal di Jalan Dharma)
(dari milis babadbali)

SESAAT setelah badan jasmani mati,Atma melakukan perjalanan jauh. Cerita perjalanan Atma ada di banyak tempat, dalam berbagai kebudayaan, dan bermacam kepercayaan. Yang sama dari tiap cerita itu, Atma dikabarkan sengsara, kesepian, dan ketakutan. Walaupun perjalanan itu penuh penderitaan, tidak ada cerita Atma menunda perjalanan. Apalagi membatalkan. Sepertinya tidak ada pilihan lain bagi Atma kecuali melakukan perjalanan itu. Ia tak mungkin bertahan tinggal dalam tubuh yang segera akan membusuk. Bagian tubuh yang berasal dari tanah kembali menjadi tanah. Yang berasal dan air kembali menjadi air. Maka Atma mencari rumah baru. Pilihan ada dua, hanya dua menurut cerita : Surga atau Neraka.

Atma seseorang yang di dunia berkarma baik diyakini masuk Surga. Sebaliknya, yang berkarma buruk, dipastikan masuk neraka. Kepastian ini sebatas keyakinan. Karena mustahil membuktikannya. Baik Surga maupun neraka konon letaknya jauh di sana, entah di mana. Di mulut tukang cerita lihai, anak-anak sampai menangis mendengar kisah kesengsaraan Atma. Di tangan tukang cerita yang kurang berbakat cerita itu jadi rusak Sebaliknya, tukang cerita humoris membuat orang terpingkal-pingkal mendengar perilaku Atma yang ternyata juga bisa lucu.

Banyak orang tidak mempercayai kebenaran cerita seperti itu. Tetapi orang yang meyakini kebenarannya, jauh lebih banyak lagi. Namanya juga keyakinan, pasti susah dibuktikan. Sekarang cerita perjalanan dalam bentuk buku. Sudah banyak pula diterjemahkan, dari satu bahasa ke bahasa lain. Sehingga menceritakan atau mendengarkan cerita Atma tidak lagi menakutkan seperti dulu sebelum listrik masuk desa. Sekarang banyak orang mendengarnya sambil makan kacang, minum bir dan goyang-goyang kaki. Tak jarang mereka tarpingkal-pingkal, karena yang sakral dari atma diceritakan dengan vulgar.

Disini, di Pulau Bali ini, orang mengenal cerita perjalanan Atma lebih banyak lewat pendengaran. Jadi, bukan karena membaca. Kenyataan ini berhubungan dengan lebih donminannya kebiasaan ngobrol daripada kebiasaan menulis dan membaca. Dalam salah satu fragmen kisah perjalanan Atma, diceritakan Atma menyeberangi sebuah jembatan oleng (titi ugal-agil). Dibawah jembatan oleng itu ada jurang menganga. Dari dasar jurang terdengar jeritan Atma yang terjatuh minta tolong.

Ratapan itu didengar oleh Atma yang sedang menyeberang. Makin ciut nyali Atma itu. Beberapa Atma nampak tertancap diruncing batu cadas yang seakan taringnya jurang. Beberapa lainnya tersangkut bergelantungan di ranting pohon pinggir jurang, dipatuk-patuk ular berbisa. Mereka adalah Atma yang gagal menyeberangkan dirinya. Karena berat membawa beban karma buruk selama hidup di dunia. Mereka terjatuh dan menjadi penghuni jurang. Disiksa bermacam binatang buas dan hawa dingin panas bergantian. Hanya karma baik menyebabkan Atma sukses melewati jembatan oleng itu. Atma yang berhasil, setelah melewati jembatan itu, konon akan menemukan jalan bercabang dua.

Cabang pertama berupa jalan bersih, aman, lestari, indah. Itu konon jalan menuju neraka. Sebaliknya cabang kedua, penuh duri, susah, penuh godaan, berbahaya. Konon itu jalan menuju surga. Diceritakan pada umumnya Atma bingung memilih jalan. Karena itu, keluarga yang masih hidup disarankan menasihati orang yang mati.

Di hadapan jenasah, yang hidup dilatih berpesan, agar Atma berani memilih jalan yang sulit Nasihatnya, jangan sekali-sekali tergoda oleh kemudahan sebuah jalan. Jalan yang mulus dan lancar-lancar saja sering menipu. Keluarga yang ditinggalkan ingin agar Atma orang yang mati langsung menuju surga. Karena surga sudah pasti lebih bagus daripada neraka Pengetahuan mereka tentang surga didapat dari bergaul dengan tradisi. Jadi, bukan pengalaman langsung. Karena sangat absurd, bila seseorang harus mati dulu hanya untuk tahu surga maupun neraka.

Tetapi di dalam dunia cerita, yang pasti berbeda dengan kenyataan, ada manusia super bisa jalan-jalan ke surga maupun neraka, tanpa harus mati terlebih dahulu. Contoh paling sering disebut-sebut, kisah perjalanan Dharmawangsa setelah istrinya (Drupadi) dan semua adiknya (Pandawa) mati. Setelah perang Bhatayuddha yang mahadahsyat, tinggal ia bersama seekor anjing. Bersama anjing setia itu ia naik ke surga barbadan manusia. Dalam pementasan wayang, tentu ia naik ke surga berbadan wayang. Ternyata adik dan istrinya tidak ada disana. Mereka sudah dimasukkan ke neraka karena kesalahan masing-masing. Ia pun lantas mengunjungi mereka ke neraka. Karena ia manusia suci, ke mana pergi kesucian mengikuti. Kesucian menjadi kekuatan menawan yang tinggi. Neraka kemudian ia ubah menjadi surga Dan berhasil. Itulah salah satu contoh manusia yang bisa pergi ke surga ketika masih berbadan kasar.

Masih ada contoh manusia super masuk Surga tanpa mati terlebih dahulu, seperti dalam cerita rakyat Bali-Lombok, Cupak-Grantang. Bukan karena kesucian ia naik ke Surga, tetapi dengan menyatukan empat saudara mistis kelahirannya. Cerita ini banyak penggemarnya di luar tembok istana’.

Dahulu Tradisi dibedakan atas tradisi di dalam tembok istana dan tradisi di luar tembok istana. Bila Dharmawangsa datang dari negeri nun jauh di sana, Cupak datang dari dekat-dekat sini. Tampang mereka sangat bertolak belakang. Dharmawangsa berwajah Dewa. Cupak berwajah preman, rambutnya gondrong acak-acakan, tidak pernah disisir dan diminyaki. Matanya selalu marah karena sering mabuk. Cara berpakaiannya pun tidak umum. Keduanya mewakili kelompok dan paham tidak sama. Yang satunya elite yang satunya lagi jelata Yang satunya Shiwa, satunya lagi Bhairawa Cerita Cupak memang tidak dikelompokkan dalam epos atau mitos, tetapi cerita rakyat.

Dalam dunia cerita, bukan hanya manusia super mengunjungi Surga. Raksasa pun diceritakan memasuki surga dengan masih mengenakan badan kasar. Pelukisan badan kasar raksasa memang sangat kasar. Perilakunya kasar. Bicaranya kasar. Makanannyapun yang kasar-kasar. Sangat bertolak belakang dengan para Dewa yang berbadan halus, berbahasa sopan, berperilaku adab, makanannya sari-sari, menghormati kaum lemah seperti bidadari, dan wanita surga. Bila Atma manusia datang untuk menjadi abdi di surga, raksasa datang untuk menggempur istana Dewa. Dalam banyak cerita, raksasa selalu bemafsu merebut kekuasaan dari tangan Dewa. Dewa yang tidak sudi mengotori tangan beliau dengan darah dan kekerasan, meminjam tangan manusia sakti yang beliau temukan di hutan pertapaan lewat utusan bidadari penggoda. Manusia pilihan Dewa pasti berhasil menyelamatkan surga. Karena tuntutan moral cerita. Raksasa harus kalah. Manusia harus berperang di jalan Dharma. Dan Dewa harus suci plus dihormati Tidak ada Dewa tidak suci. Manusia yang menolak berperang dihinakan dan dinistakan. Raksasa yang kalah perang dimatikan. Tetapi bagaimana cara raksasa datang ke Surga semasih berbadan kasar? Jawabannya tidak dapat diketahui dari dalam cerita. Mereka datang saja ke surga, seakan rumah mereka tidak jauh dari sana.

Surga dan neraka sekadar contoh dualisme yang paling sering disebut-sebut. Bila surga neraka tempat sesudah mati, lantas bumi tempat kita hidup sekarang ini apa? Tradisi menyebutnya “tempat dimana ada kematian”(mertyupada) . Yang mematikan adalah Waktu (Kàla). Manusia lahir sebagai bayi di tempat di mana ada kematian. Itu masuk akal. Karena tiap yang lahir langsung terkena vonis mati oleh kehidupan. Hari dan tanggal eksekusi dirahasiakan. Hidup tidak lantas berarti menim Melainkan meneanibekal mati Begitu tradisi mengajarkan. Karma baik adalah bekal yang akan menolong perjalanan Atma. Di sinilah agama menghadirkan dirinya sebagai pemandu hidup. Pada zaman seperti sekarang, agama tidak sendirian memandu hidup manusia. Muncul pemandu tandingan merebut kapling agama, seperti ideologi negara, ideologi pasar, dan sebagainya.Di banyak tempat, agama sebagai pemandu hidup telah ditinggalkan. Di lebih banyak tempat di dunia ini, agama sebagai pemandu makin dikukuhkan. Karena bumi di maknai tempat di mana ada kematian (mertyu pada), konsekwensinya pemandu (agama) pun pada saatnya nanti akan mati. Karena hanya di dunia di mana ada kematian ada kelahiran, maka konskwensinya akan muncul pemandu baru yang tidak harus agama. Lalu apa?

Karena kita akan mati, bumi ini tidak ubahnya sebuah titik persinggahan sementara. Sebuah titik yang sangat besar untuk mampu dijelajahi manusia seorang diri. Hidup seratus tahun akan terasa sangat membosankan bagi orang yang hanya mencari bekal hidup. Bagi yang mencari bekal mati, satu umur manusia konon terlalu pendek. Mungkin karena itu, pameo “aku ingin hidup seribu tahun lagi” lebih dikenal daripada puisi yang memuat kalimat itu. Bagi yang letih berkarma karena konteks sudah tidak mendukung, sering mengambil pilihan memaksa. Waktu mengakhiri pencariannya. Bunuh diri !

Dalam banyak cerita, bumi ditempatkan di bawah. Dewa atau bidadari yang pergi ke bumi secara sukarela maupun terpaksa, disebutkan turun ke bumi. Mereka berjalan melewati langit dan menerobos awan. Arjuna pun disebutkan kembali turun ke bumi, setelah menyelesaikan tugas menyelamatkan surga dari serangan raksasa, dan tentunya setelah usai menikmati limpahan anugerah sebagai pahlawan.

Penganut paham Samkhyadarsana, satu da enam aliran filsafat Hindu, menempatkan bumi pada urutan paling bawah pada sistem tattwa yang mereka pakai memahami realita. Di atas bumi ada banyak realita yang tidak akan dibicarakan di sini. Bumi disebut realita paling bawah karena semua realita yang ada di atasnya be mu dibumi. Dalam realita bumi inilah surga dan neraka diciptakan. Surga dan neraka adalah satu dari beberapa penemuan besar manusia bumi. Penemuan lebih besar adalah agama. Penemuan paling besar, sudah tentu. Tuhan

Aku Adalah Tuhan

AHAM BRAHMAN ASMI

(Aku Adalah Tuhan)

Selama ini kita sering berkata bahwa tuhan itu ada nanjauh disana, bagaimana anda memaknai slogan di atas yang menjadi topik pada tulisan ini?

Jawaban Sementara:

  1. Tingkat kesadaran seseorang akan hubungan dirinya dengan Tuhan tertuang dalam Filsafat Dwaita (dirinya berada terpisah dengan Tuhan) dan Adwaita (dirinya berada di dalam Tuhan). Selogan di atas yang berbunyi ’’Tuhan nan jauh di sana’’ menjelaskan bahwa seseorang itu baru menyadari bahwa Tuhan berada terpisah dengan dirinya (Dwaita). Sedangkan pernyataan bahwa ’’aku adalah Tuhan’’ menerangkan bahwa kesadaran orang tersebut sudah mencapai tingkat Filsafat Adwaita, namun berada di dalam Tuhan tidaklah cukup kita harus meningkatkan bhakti dan para bhakti agar dapat benar-benar menyatu dengan Tuhan.

  1. Slogan di atas mengandung makna bahwa Tuhan memiliki dua sifat yaitu transenden dan imanen, Tuhan berada jauh di sana adalah Tuhan yang transenden, bahwa kita sebagai manusia terpisah jauh dari beliau,

  1. dari slogan ini, saya sebagai insan ciptaan Tuhan ingin mengajak teman-teman untuk merenungi diri kita, tentang keberadaan kita di dunia ini. Mengapa saya katakan begitu, karena kita adalah bagian dari Tuhan, dimana Atman yang bersemayam dalam diri kita adalah bagian dari Tuhan itu sendiri. Seperti yang kita lihat dewasa ini banyak orang mencari Tuhan diluar dirinya, sehingga orang itu merasa jauh dan sangat jauh dari sang pencipta sehingga orang itu sendiri menjadi bingung dan cenderung untuk berbuat anarkis yang mengakibatkan kerugian baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kalau kita menyadari bahwa Tuhan sebenarnya tidak jauh dari kita, maka kita akan merenung, dengan banyak melakukan perenungan (puasa, meditasi dll) maka sang Atman yang berada dalam diri kita akan membimbing kita kejalan kesadaran batin. Seperti ada kata slogan ”dirimu adalah ibarat sebuah pura”. Dari slogan ini kita dapat mengambil kesimpulan janganlah mencari kebenaran keluar, tetapi galilah potensi yang ada didalam dirimu, karena jika kamu sudah mengetahui potensi yang ada dalam dirimu maka kamu akan mencapai kesadaran dan ketenangan batin .

  1. Tuhan itu sebenarnya tidak jauh tetapi ada pada diri kita sehingga apa yang kita perbuat apa yang kita lakukan harus sesuai dengan ajaran darma sehingga manusia dapat selalu mawas diri dan merasa dekat dengan Tuhan karena kalau kita memikirkan Tuhan yang trasenden maka kita tidak akan tau bentuk dan ujudnya.

Telah banyak kita dengar bahwa dalam setiap mahluk hidup yang ada didunia, memliki esensi yang paling mendasar, esensi yang dimaksud adalah setiap mahluk hidup ada yang menghidupi, siapa yang menghidupi semua itu dia lah Tuhan yang Maha Esa, bila ia menghidupi semua mahluk hidup berarti ia ada dalam setiap mahluk hidup, karena berada didalam mahluk hidup, gimana dengan manusia yang merupakan bagian dari mahluk hidup? ........ yang pasti didalam diri manusia juga ada Tuhan, bagaimana kita mengetahui bahwa beliau ada dalam diri kita ibarat kita bercermin didalam air kita akan bisa melihat dengan jelas bila air itu jernih, untuk menjernihkan air itu perlu usaha yang keras dengan cara melatih diri untuk menarik indria-indria kita terfokus kedalam diri kita yang dimana disana Tuhan bersemayam dengan dialasi padma yang indah dan berkilauan.. ......... ......... ......... ...penasaran kannnnnnn nah mari kita diskusikan biar nikmat...... ......... .....rarisang. ..!

kejujuran

Om wastyastu.
Paradarmika yang titiang Hormati, sapunapi gatrena, dumogi Hyang Pramewisesa ledang micayang Wara Nugrahanya, Dirhayusa, tur rahajeng sinamian.
Puniki titiang menyempatkan diri untuk sekedar say helo, dengan sedikit oleh oleh penyejuk iman minabang titiang becik anggen Dongeng sebelum bobok, riantukan napkale ne mangkin alit alite samian demam dengan sinetron, sentuhan ceritra sekitar kita nyaris tak terdengar, inggih rarisang dumogi wenten pikonohnyane.

KEJUJURAN

SEBUAH RAHASIA DIBALIK KEJUJURAN

Oleh Jero Mangku Sudiada.(JMS)

Didalam Hindu dikenal dengan pilar “PANCA PAGEH” – Kepagehan apakah itu.

Panca = lima sedangkan, Pageh = adalah kokoh / teguh kuat, sehingga saking pagehnya sering diasumsikan dengan Pilar, karena pilar sebagai tiang penyangga sebuah bangunan sehingga bangunan itu menjdi kuat kuat dan kokoh, yaning nirgamayang Hindu ini adalah sebuah Bangunan, maka Lima Pilar itu terdiri dari :

  1. Dharma ….Kedharmane ngaran patut, tinujon sang manumadi…..dst.
  2. Setya……..Setya adalah gembok utama dlam sebuah kejujuran, Setya mitra, setya

wacana, Setya laksana, Setia Hrudaya, Konsept jujur adalah ”Setya”

  1. Prema…….Kasih saying…Hidup adalah sebuah kasih sayang…..kita terlahir dari

perpaduan kasih ssayang mejalaran antuk Tresna.

4. Himsa..... Ahimsa Jangan pernah menyakiti orang kalau kita tidak mau disakiti.

5. Santhi...... ...Damai dihati, damai di dunia dan damai dalam Kasih Hyang Widhi.

Selanjutnya akan ada pertanyaan, kalau memang demikian JUJUR itu ada dimana.....? nah untuk itu ikuti sebuah kidsah dibawah ini.

Ada sebuah area yang cukup besar diplembah sebuah pegunungan Kasmir dimana daerah ini sangat subur, dan konon sampai sekarang selalu menjadikan idola Industri pertanian, karena musim dan cuaca sangat mendukung, area ini sring disebutkan dengan nama ”Kunda Dwipa” daerah ini terbagi menjadi tiga lokasi yang sangat strategis yang masing masing daerah ini dikuasi oleh seorang raja, yang terdiri dari Kunda dwipa, Kulon Progo, dan Kiduling Progo. The Facto dalam kerajaan ini, Kunda Dwipa yang paling unggul, paling masyur, dan paling kaya dibawah kekuasaan seorang raja anom yg arif bijaksana yang bernama ”GIRI PUTRA TUNGGA DEVA”.

Secara tidak langsung kedua kerajaan yang lainnya sudah dikuasai, tetapi saking kearifan sang Giri Putra, maka kerajaan yang lainnya nyapun tidak pernah merasa dijajah, sehingga seolah olah Kulon Progo dan kiduling Progo sering disebut bagian dari kerajaan ”Kunda Dwipa”

Sang raja Giri Putra melai naik tahta ketika beliau nerusia 27 tahun Usia yang sangat ideal menjadi raja, hanya saja saat itu ketika naik tahta belum mempunyai pendamping /permaisuri, lantaran Ayahnda sang Raja Lingsir, selalu memaksakan kehendak agar mengambil Permaisuri dari salah satu kerajaan Kunda Dwipa yaitu Kulon, maupun Kiduling Progo kebetulan masing masing kerajaan itu memiliki putri yang setimpal dengan usia Giri Putra.

Giri Putra tetap menolak, sampai akhirnya Sang Raja Lingsir wafat sebelum Giri Putra punya pendamping. Akhirnya Giri Putra dinobatkan menjadi Raja tanpa Pendamping.

Pada Acara Penobatan itu dihadiri oleh sang Raja Kulon, Kidul Progo dengan membawa masing masing Putrinya, dan secara spontanitas kedua raja itu mempersembahkan Putri kesayangannya untuk dijadikan Istri dgn tanpa embel embel harus menjadi Permaisuri.

Malang sudah ditolak, kini giliran mujur yang datang, dengan latar blakang untuk mempersatukan Daerah Kunda Dwipa, akhirnya sang Giri Putra mengambil kedua putri itu untuk dijadikan Istri dengan porsi posisi yang sama.

Mari kita lihat sebenarnya apa sih yang menyebabkan Giri Putra ini begitu susah untuk mengambil istri......?

Percaya tidak.... dibalik kisah ini, sebenarnya Giri Putra hatinya sudah terpaut oleh Gadis lembut, cantik, sederhana, yang tak lain adalah seorang Pengabdi di Istana yang berasal dari wangsa sudra. sebenarnya sudah pernah diutarakan kepada sang raja Lingsir, dengan alasan derajat kelahiran Ayahandanya sang raja lingsir menolak keras untuk dijadikan Prami, meskipun Giri Putra sudah bersusah payah untuk meyakinkan Bahwasanya derajat hidup itu ditentukan oleh sebuah Process kehidupan bagaimana kita memposisikan diri kita. ”VASUDEWA KUNTUMBHAKAM” kita adalah sama semuanya” setiap kelahiran manusia dari perut ibunya adalah Sudra, prosess selanjutnyalah yg mjenentukan jati dirinya kita dimana dan sebagai apa......Who doing What....and .......How Low can you go

Giri Putra sangat Bijaksana, akhirnya Kedua Putri raja dinikahi dan Gadis Pengabdi istana itupun dijadikan istri, dan dilakukan secara adil dan bijaksana, tanpa ada timbangan yang berat separuh..... ....

Gelisang Satua Enggal...... ..kini Giri Putra sudah memerintah 25 tahun tanpa cedera masyarakat mengelu elukan Kearifannya, merupakan puncak kemasyruan Kunda Dwipa, tidak perlu ada KPK, tidak ada istilah Cecak dan buaya,...... Hidup dalah sebuah perjuangan tidak ada sukses tanpa perjuangan dan tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan, baik berupa waktu, tenaga dan pikiran.

Tan Hana Wwang sweta anulus, dunia ini tidak ada yang sempurna, persoalan meruncing ketika melihat kenyataan Giri Purta, berputrankan 3 orang putra sebaya yang masing masing itu berasal dari ketiga Istrinya itu.....Putra Kulon, Putra Kidul, dan Giri Kunda yang ibunya berasl dari seorang abdi istana.

Masalah ini muncul dari Masing masing Kerajaan yang mengharapkan penerusnya itu berasal dari daerahnya masing masing, sedangkan Giri Kunda tidak pernah berangan angan bahkan mimpi jadi rajakpun tidak pernah, selain sumerah dan takluk dari sabda sang Nata Ratu yaitu ayahnya sendiri.

Sang Raja menyadari hal ini, menghindari terjadi lagi Solusi Empu Bradah untuk membagi kerajaan Daha = Jenggala dan Kahuripan, akhirnya beliau ambil solusi, dikumpulkan seisi istana, Bagawanta, Ketiga Istrinya, Ketiga Putranya diberikan tugas untuk menumbuhkan, merawat dan membesarkan masing masing sebuah tunas buah / biji ”mahkota dewa” silahkan memilih lokasi untuk menumbuhkan dan merawat tunas mahkota dewa itu dg baik dalam kurun waktu satu tahun, Barang siapa yang berhasil menumbuhkan biji buah itu, dialah yang patut menjadi raja mahkota, ”dgn catatan” yang lainnya tidak boleh membrontak karena akan diberikan jabatan sesuai dengan talentanya masing masing dan harus puas dengan posisi itu.

setahun sudah berlalu, Akhirnya sampailah pada waktu yg ditentukan, Putra Kulon, Putra Kidul, dgn masih masing pohon ”Mahkota Dewanya” subur luar biasa, sedangkan Giri Kunda tetap hadir meskipun Pot yang dibawanya jangankan Mahkota Dewa rumputpun tidak ada yang tumbuh, Giri Kunda tetap tegar hadir dan siap untuk menerima hukuman apapun bentuknya dari sang Raja, arena tidak bisa menumbuhkan tunas itu, Giri Kunda tetap sumerah diri, dalam hatinya selalu berucap

Om asatoma sadgamaya, Tamasoma Jyotir Gamaya, Mretyor ma Mretam gamaya”

Duh Hyang Widhi Wasa, tuntunlah kami dari kegelapan menuju sinar sucimu, bawalah kami dari lembah nista menuju jalan Dharma, tunjukanlah jalan kematian menuju kelanggengan. Om

Diawali dengan statement penuh kejujuran Tanpa basa basi, semua Putra putranya disuruh berceritra bagaimana caranya membesarkan masih masing buah itu, dgn logatnya masing masing semuanya berceritra indah, dari mulai persiapan s/d akhirnya biji buah Mahkota dewa itu tumbuh dengan sempurna seperti apa yang sang raja saksikan sekarang ini.

Lain halnya Putra Bungsu, Giri Kunda, dengan penuh Iba, nelongso bahwa dirinya telah gagal untuk mengemban sabda sang Raja dan ternyata Biji yang dirawatnya siang dan malam tidak kunjung tumbuh seperangkat pot yang masih bertunaskan biji mahkota dewa masih utuh kering krontang itupun dipersembahkan kpd sang raja.

Bukan main Gemas hati sang raja sambil gemertak giginya menahan amarah.....kenapa. ..?

Putranya Giri Kulon dan Giri Kidul, terbalik tertuduh telah GAGAL mengemban tugas, ”KEJUJURAN” karena sesungguhnya Ketiga Tunas Mahkota Dewa itu, sebelumnya sudah direndam dalam larutan kimia, shga tunas itu ”TIDAK BISA TUMBUH”

Akhirnya diputuskanlah dlm Mahasabha itu dinobatkanlah Putra bungsu GIRI KUNDA untuk meneruskan tahta kerajaan atas dedikasinya mengemban tugas kejujuran, disinilah kemudian asal muasalnya munculnya Ceritra ”WATUGUNUNG” putra dari Giri Kunda yg sangat populer dalam

  1. Wariga
  2. ” Dewi Sinta, Dewi Landep,
  3. Watugunung runtuh,....
  4. Paid paidan.....?

Semoga panjang Yusa titiang pacang lanturan duk rahinane benjang..... .he...... he......?

Dumogi wenteh Pikenohnyane.

SETAN, DOSA, DAN KUTUKAN dalam persefektif HINDU

SETAN, DOSA, DAN KUTUKAN

Dalam Perspektif Hindu

Ye tvā devosrikaṁ manyamānāḥ pāpā bhadram upajivanti pajrāḥ,

Na dūḍhye anu dadāsi vāmaṁ bṛhaspate cayasa piyārum.

Ṛgveda I.190.5

Wahai Guru Para Dewa, janganlah memberikan kekayaan terhadap

mereka yang bodoh, yang penuh dosa dan licik, dan hidup semata-mata

atas kemurahan-Mu, yang menganggap-Mu bagai sapi jantan tua.

Tetapi Engkau mendukung mereka yang

mengabdikan hidupnya kepada-Mu.

Pendahuluan

Topik tulisan di atas sepertinya sangat sulit dirangkai, dan khusus kata setan (satan) terjemahannya dalam bahasa Sanskerta adalah piśaca atau paiśaca. Kata yang maknanya sejenis dengan kata tersebut, di antaranya adalah rakṣasa. Di dalam bahasa Inggris disebut devil yang arinya setan. Kata devil berasal dari bahasa Yunani ‘diabolos’. Orang Barat dan Timur sama-sama percaya bahwa piśaca atau setan adalah musuh umat manusia, sekaligus juga musuh para Dewa (Mani, 1989:590). Selanjutnya kata dosa, di dalam bahasa Sanskerta padannya adalah doṣa, pāpā, dan lain-lain yang maknanya sejenis dengan makna kata tersebut, sedang kata kutukan, padannya dalam bahasa Sanskerta adalah śapa atau śapatha di dalam Ṛgveda (X.87.15) pada mulanya berarti kutukan, dan bukan sumpah seperti sumpah dalam proses pengadilan (Macdonell & Keith, II, 1982:353).

Topik tulisan ini tampaknya seperti mendapat pengaruh dari agama-agama yang digolongkan dalam Abrahamic Religion atau Agama-Agama Semitik, yang di dalam Agama Hindu ketiga kata tersebut sangat sulit dirangkaikan, karena sumber ajaran teologi Hindu berbeda dengan ajaran teologi agama-agama tersebut di atas. Walaupun demikian tulisan ini mencoba mengetengahkan sumber, cerita atau makna dari istilah atau terminologi di atas.

Piśaca, Rakṣasa, dan Asura

Seperti telah dijelaskan di atas, di dalam bahasa Sanskerta tidak dikenal istilah atau kata setan (satan). Kata ini rupanya berasal dari bahasa Arab (setan) atau Ibrani (satan), yang maknanya sangat dekat atau mirip dengan kata paiśaca, rakṣasa, dan asura. Kata setan (satan) di dalam The Student English-Sanskrit (Apte, 1987:408) adalah paiśaca (masculinum) dan paiśacī (femininum), paiśacagraṇī , paiśacanātha. Di dalam Ṛgveda (I.133.5) disebut dengan nama paiśacī sedang di dalam Atharvaveda (II.18.4; IV.20.6, 9; IV.36.4; IV.37.10; V.29.4.5.14; VI.32.2; VIII.2.12; XII.1.50) maknanya sama dengan di dalam Ṛgveda, yakni nama dari sekelompok raksasa. Di dalam Taittirī ya Saṁhitā (II.4.1.1, juga dalam Kāṭhaka Saṁhitā XXXVII.14) mereka diasosiasikan dengan para rakṣasa dan asura yang bermusuhan dengan para Dewa, manusia, dan leluhur. Di dalam Atharvaveda (V.25.9) mereka digambarkan sebagai kravyād yang artinya ‘pemakan daging mentah’, yang mungkin mengandung pengertian etimologi dari kata paiśaca tersebut. Hal ini sangat mungkin, bahwa paiśaca seperti diungkapkan oleh Grierson, merupakan musuh manusia, seperti suku asli di Barat Laut, yang sampai pada masa akhir disebut sebagai pemakan daging mentah (tidak mesti disebut kanibal, namun memakan daging manusia dalam rangkaian sebuah upacara ritual). Demikian, walaupun tidak semuanya, sepertinya paiśaca aslinya berarti ‘setan’, yang tampak seperti suku asli, hal itu ditunjukkan dengan identitasnya yang dicemohkan. Satu cabang ilmu pengetahuan disebut paiśacavidyā yang populer muncul pada akhir zaman Veda, di antaranya ditemukan dalam kitab Gopatha Brāhmaṇa (I.1.10) (Macdonell & Keith , II, 1982:533).

Di dalam kitab-kitab Purāṇa, paiśaca dijelaskan sebagai berikut. Makhluk yang berhati dengki yang merupakan perwujudan yang jahat. Setiap orang, di mana saja di bumi ini, sejak baru terjadinya alam semesta dipercaya telah hadir roh yang jahat. Menurut Mahābhārata (Ādiparva I) paiśaca merupakan ciptaan Dewa Brahmā. Pada masa awal Brahmā menciptakan 18 prajāpati yang dipimpin oleh Dakṣa, Gandharva, dan Paiśaca. Seperti halnya dalam Mahābhārata, dalam kitab-kitab Purāṇa juga merupakan ciptaan Brahmā. Paiśaca merupakan penghasut segala bentuk kejahatan dan memegang peranan penting di dalam kitab-kitab Purāṇa dan Mahābhārata. Paiśaca tinggal di istana Dewa Kubera dan memuja-Nya (Sabhāparva XI.49). Paiśaca tinggal di Gokarṇatī rtha dan memuja Dewa Śiva (Vanaparva LXXXV.25). Paiśaca adalah pemimpin roh-roh jahat. Ṛṣi Marī ci dan ṛṣi yang seperti beliau menciptakan roh-roh jahat (Vanaparva CCLXXII.46). Minuman para paiśaca adalah darah dan makanannya adalah daging (Droṇaparva L.9). Para bhūta (roh-roh jahat) menjadikan Ravaṇa raja mereka (Vanaparva CCLXXV.88). Dalam perang Bhāratayuddha, kuda yang menarik kereta raksasa Alambuṣa adalah para paiśaca (Droṇaparva CLXVII.38). Paiśaca bertempur melawan Karṇa dan ia berpihak menolong Ghaṭotkaca (Droṇaparva CLXXV.109). Arjuna mengalahkan paiśaca saat terbakarnya hutan Khāndava (Karṇaparva XXXVII.37). Paiśaca muncul saat pertempuran Arjuna dengan Karṇa (Karṇaparva XXXVII.50). Paiśaca memuja Dewi Parvatī dan Parameśvara yang sedang bertapa di puncak gunung Muñjavān (Aśvamedhaparva VIII.5). Pada masa berlangsungnya perang Bhāratayuddha banyak paiśaca menjelma menjadi raja (Aśramavāsikaparva XXXI.6) (Mani, 1989:590).

Di dalam susastra Jawa Kuno kata paiśaca ditulis dengan paiśāca yang artinya tidak jauh dengan makna di dalam Veda dan susastra Sanskerta, yakni nama jenis makhluk halus, mungkin disebut demikian karena kegemarannya akan daging (piśa untuk piśita) atau karena warnanya yang kekuning-kuningan; setan, iblis, raksasa, jin, makhluk yang berarti dengki atau jahat. Di dalam Ādiparva (30) dinyatakan: saṅ Mṛgi makānak piśāca gaṇa bhūta........; kata ini dapat juga dijumpai dalam Bhīṣmaparva 109; Agastyaparva 378; 385; Rāmāyaṇa 8.128; 20.3; 23.29; Sumanasantaka 147.10; Sutasoma 125.11 (Zoetmulder II,1995:826) . Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka di dalam kitab suci Veda, kitab-kitab Purāṇa, setan dapat diidentikkan dengan paiśaca, bhūta, rakṣasa, daitya, dan asura yang menghasut atau mendorong terjadinya kejahatan, dapat merasuki setiap orang dan bahkan menjelma menjadi raja sebagai pemimpin sebuah negara, dan lain-lain.

Doṣa, Pāpa, dan Puṇya

Doṣa, pāpa, dan puṇya adalah 3 buah kata yang tampak saling berkaitan. Doṣa dan pāpa atau pāpā di dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam kata sin, dan dalam bahasa Sanskerta adalah pāpam, pātakam, kalmaṣam, duritam, agham, duṣkṛam, vṛjinam, aṁhas, kilbiṣam, dan lain-lain (Apte, 1987:427). Kata-kata tersebut di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata dosa yang sama artinya dengan doṣa dalam bahasa Sanskerta. Berlawanan dengan kata doṣa dan pāpā dalam bahasa Sanskerta adalah kata puṇya yang terjemahannya dalam bahasa Inggris merit. Padanan kata lainnya dalam bahasa Sanskerta adalah guṇaḥ, yogyata, pātrata, utkarṣa, puṇyam, dharma, śreṣṭhata, viśeṣaḥ, sukṛtam, śreyas (Apte, 1987:286).

Dalam susastra Jawa Kuno, kata doṣa berarti: (1) dosa, kesalahan, pelanggaran; (adj.) bersalah. Lihat juga istilah daṇḍadoṣa, guṇadoṣa, nirdoṣa, paridoṣa, sadoṣa, sthānadoṣa, sodoṣa. Terminologi tersebut terdapat dalam Virātaparva 94; Udyogaparva 103; Uttarakaṇḍa 25; 68; Ślokāntara 30.10; Arjuna Vivāha 35.6; Ghaṭotkacāśraya 38.3; 42.3; Bhomakavya dan Kidung Harsavijaya 6.46 (Zoetmulder I, 1995:225). Kata pāpa dalam bahasa Jawa Kuno mengandung arti yang lebih luas, yakni: (1) dosa, kebiasaan buruk; kejahatan, kesalahan, hukuman/siksaan karena dosa. Terminologi ini dapat dijumpai pada Ādiparva 47; 81; Udyogaparva 9, Brāhmāṇḍapurāṇa 52; Rāmāyaṇa; Sutasoma 34.8: nora pāpa kadi pāpa niṅ anak atiduṣṭa riṅ yayah. (2) kemalangan, kesusahan, kesukaran, kesukaran, keadaan yang tidak menyenangkan, kesengsaraan. Dapat dijumpai dalam Virātaparva 75; manahên pāpa; Agastyaparva 366; Arjuna Vivāha 16.9: lêhêṅa juga ṅ pêjah saka ri pāpa pāpa anahên iraṅ lawan lara.Smaradahana 24.8, (3) jahat, buruk, jelek, nakal, celaka, malang, sengsara, orang jahat, penjahat, orang yang berdosa. Lihat juga: atipāpa, mahā pāpa, mahātipāpa. Virātaparva 31; Bhīṣmaparva 111; Uttarakaṇḍa 44; Sutasoma 35.7; Kidung Harsavijaya 3.95: woṅ pāpa kawêlas hyun (Zoetmulder I, 1995:758).

Agama Hindu pada dasarnya sangat konservatif, dan banyak aturan yang digunakan termuat di dalam kitab suci Veda dan masih efektip diikuti untuk aktivitas rutin sehari-hari oleh jutaan umat Hindu. Beberapa di antaranya adalah ajaran Karmamārga (jalan kerja). Agama Hindu seperti agama-agama tradisi lainnya, selalu mengingatkan pada pentingnya penekanan pada pelaksanaan etika dan moralitas yang masih terpelihara, tetapi juga selalu diperbaiki. Gagasan terhadap hukuman dan pertobatan terhadap dosa menempati posisi yang luas dalam kehidupan kebanyakan umat Hindu.Upacara siklus hidup yang disebut saṁskāra menunjukkan hal itu, tidak hanya diikuti oleh anggota ke dalam tingkatan hidup selanjutnya, tetapi juga mengembangkan kekuatan spiritual mereka dan meyakini kebutuhan personal mereka (Klostermaier, 1990:146).

Di dalam Bhasmajabalopanisad (165) yang merupakan Upaniṣad yang bersifat Śaivaistik, dijelaskan pahala bagi mereka yang mempergunakan atribut (lakṣaṇa) yang berkaitan dengan sekta ini, di antaranya tripuṇḍra, yang merupakan tiga garis sejajar dioleskan pada dahi sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Śiva yang terbuat dari abu. Di dalam Upaniṣad tersebut dijelaskan tentang keutamaan dan kesucian penggunanan abu (vibhuti) yang dibuat dari kotoran sapi, dan bagaimana abu tersebut digunakan.

“Untuk para Brāhmaṇa mengenakan bhasma (abu) merupakan perilaku yang baik dan benar. Tanpa menggunakan tanda-tanda tersebut, seseorang tidak dapat minum atau mengerjakan sesuatu. Hendaknya ia menggunakan tanda-tanda (dari abu) itu dengan diikuti pengucapan gāyatri-mantra atau mempersembahkan sesajen pada api suci. Dengan menggunakan tanda-tanda itu seseorang berjalan di jalan yang benar untuk menghancurkan semua dosa dan mencapai keselamatan (mokṣa)….. Ia yang menggunakan tanda-tanda dari abu tersebut pada pagi-pagi benar, yang bersangkutan akan dibebaskan dari segala dosa yang dilakukan pada malam sebelumnya, termasuk juga dosa yang berasal karena mencuri emas. Ia yang melakukan (dosa) pada siang hari dan bermeditasi kepada matahari, dibebaskan dari dosa akibat menikmati minuman yang memabukkan, mencuri emas, membunuh Brāhmaṇa, membunuh sapi, membunuh kuda, membunuh gurunya, dan membunuh bapak dan ibunya. Dengan memohon perlindungan melalui abu suci itu tiga kali sehari, ia memperoleh pahala dari belajar Veda, ia memperoleh kemuliaan (jasa baik) karena menyucikan diri di seluruh 35.000 patī rthan (pura tempat air suci), ia mencapai kesempurnaan hidup”(Klostermaier, 1990:153).

Di dalam kitab Chāndogya Upaniṣad (V.10.9-10) dinyatakan bahwa: “Ia yang mencuri emas, yang minum minuman keras, yang tidak menghormat tempat tidur gurunya, ia yang membunuh Brāhmaṇa, keempat orang itu jatuh dalam dosa (mahāpātaka), dan yang kelima adalah yang bergaul dengan mereka. Tetapi, orang yang tidak ternoda oleh kejahatan, walaupun iam bergaul dengan orang yang demikian. Ia menjadi suci, bersih, mencapai dunia kebajikan (puṇyaloka), ia yang mengetahui hal ini, sungguh ia mengetahuinya” (Radhakrishan, 1990:434). Selanjutnya Manusmṛti (VIII.381) menyatakan: “Tidak ada perbuatan kriminal yang lebih besar dari perbuatan membunuh Brāhmaṇa, karena itu hendaknya jangan sekali-sekali terpikir di dalam hati untuk melakukan hal itu”(Pudja & Sudharta, 2004:429). Di dalam kitab yang sama (VIII.350-251) dinyatakan: “Seseorang boleh membunuh seorang pembunuh, tanpa ragu-ragu yang dengan maksud membunuh apakah ia seorang guru, anak-anak, orang yang sudah berumur, atau seorang Brāhmaṇa yang akhli di dalam Veda. Dengan membunuh seorang pembunuh, pembunuhnya tidak berbuat salah (dosa), apakah ia lakukan di depan umum atau terang-terangan dalam hal itu kemarahan melawan kemarahan (Pudja & Sudharta, 2004:422). Di dalam Vaśiṣtha Dharmasūtra (III.15-18) dinyatakan bahwa seorang yang melakukan pembunuhan terhadap pelaku sad ātatāyi (ātatāyin) maka pembunuh itu tidak dianggap melakukan dosa (Kane, II.1, 1974:149).

Di dalam Bhagavadgītā (XVI.21) disebutkan adanya tiga pintu gerbang neraka yang merupakan doṣa atau pāpa yang mengantarkan ke tiga pintu gerbang neraka, yakni: kāma (moha), lobha, dan krodha. Ketiga perbuatan buruk (pāpakṛt) merupakan pāpa atau doṣa yang mesti dihindari oleh setiap orang, terutama yang ingin sukses menempuh jalan rohani (Tri Mārga).

Kitab Ślokāntara 75-78 membedakan 4 macam dosa, yakni doṣa pātaka, doṣa upapātaka, doṣa mahāpātaka, dan doṣa atipātaka yang masing-masing disebut dosa kecil, dosa menengah, dosa besar, dan dosa terbesar, masing-masing sebagai berikut: (1) doṣa pātaka meliputi: bhrunahā, menggugurkan kandungan, puruṣaghna, membunuh manusia lainnya, seperti sastrawan dan hartawan, kanyācora, melarikan gadis dengan paksa, agrayajaka, yang kawin mendahului saudaranya yang lebih tua, (2) doṣa upapātaka meliputi: govadha, membunuh sapi, yuwatī vadha, membunuh perempuan muda, bālavadha, membunuh anak-anak, vṛddhavadha, membunuh orang tua, āgāravadha, membakar rumah dan penghuninya. (3) doṣa mahāpātaka, meliputi: brāhmavadha, membunuh Brāhmaṇa, surāpāna, minum minuman keras atau yang memabukan, suvarṇasteya, mencuri emas, kanyāvighna, memperkosa seorang gadis sampai gadis itu mati, guruvadha, membunuh guru. (4) doṣa atipātaka, meliputi: svaputrī bhajana, memperkosa putri sendiri, matṛbhajana, memperkosa ibu sendiri, dan liṅgagrahaṇa, merusak tempat suci atau tempat pemujaan (Sudharta, 2003:252-259) .

Demikian kitab Ślokāntara yang merupakan ajaran moralitas berupa teks berbahasa Sanskerta dan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno. Lebih lanjut tentang puṇya dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata puṇya di dalam bahasa Inggris adalah merit yang padanannya dalam bahasa Sanskerta antara lain: guṇa, yogyata, utkarṣa, śreṣṭhatā, dharma, sukṛtam, śreyaḥ, dan yang sejenis dengan itu (Apte, 1987:286).

Di dalam Manavadharmaśāstra atau Manusmṛti (XII.105-106) dinyatakan: “Seseorang yang ingin memperoleh penyucian dari dharma (dharmaśuddhi) seharusnya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hanya mereka yang menguasai ‘tarka’ (kemampuan untuk menganalisis sesuatu) dan tidak mempertentangan susastra Veda (Vedaśāstra) dengan ajaran suci Veda, yang merupakan ajaran dharma yang diajarkan oleh para ṛṣi, yang akan menguasai dharma, tidak yang lain”. Lebih jauh di dalam kitab yang sama (IV.175-176) juga dinyatakan: “Oleh karena itu seseorang hendaknya selalu bergembira melaksanakan kebenaraan, taat kepada ajaran suci (Veda), bertingkah laku terpuji, sebagai orang yang mulia, selalu suci hati……Suatu perbuatan yang bila pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan dan sangat dikutuk di dunia ini (lokavikruṣṭha) bukanlah Dharma dan harus ditinggalkan”. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Yajñavalkya Smṛti (VI.156).

Selanjutnya tentang penguasaan ajaran suci Veda, Śrī Kṛṣṇa di dalam Bhagavadgītā (XVI.24) menyatakan: “Oleh karena itu jadikanlah kitab suci menjadi pegangan hidupmu untuk menentukan yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan mengetahui ajaran suci (Veda) tersebut, hendaknya engkau melakukan kegiatan kerja di dunia ini”. Penjelasan tersebut sejalan dengan terjemahan mantra dari Śatapatha Brāhmaṇa (XI.5.7.1) berikut. “Belajar dan menyiarkan ajaran suci Veda.Dia yang mengetahui hal ini mencapai pikiran yang terpusat. Dia tidak menjadi budak nafsunya. Keinginannya akan menjadi kenyataan, dan ia hidup menikmati kebahagiaan. Sesungguhnya dia menjadi penyembuh dirinya sendiri. Dirinya terkendali, penuh bhakti, dengan pikiran yang bijaksana. Dia mencapai kemashyuran dan berbuat baik di dunia ini”. Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah pula bagi kita bahwa ajaran suci Veda hendaknya dapat dijadikan pedoman kebajikan (puṇya) dalam hidup dan kehidupan ini.

Śapatha (Kutukan)

Seperti telah disebutkan pada bagian pendahuluan, kata Śapa atau Śapatha pada berarti kutukan dan bukan sumpah dalam proses pengadilan, seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.87.15. Pengertian yang terakhir ini rupanya muncul belakangan, seperti ditunjukan oleh Atharvaveda III.9.5; IV.9.5; IV.18.7; IV.19.7, dan Ṛgveda VII.104.15, yang menyatakan bahwa Vasiṣṭha terkutuk dan memperoleh kematian bila ia melakukan kejahatan (menyihir orang), dan kematian bagi musuh-musuhnya bila ia tidak melakukan hal itu.

Tentang kutukan atau orang yang mengalami kutukan, informasinya sangat banyak dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihāsa (Rāmāyaṇa dan Mahābhārata) maupun dalam kitab-kitab Purāṇa. Di dalam Rāmāyaṇa karya Vālmī ki terdapat ceritra dikutuknya dewi Ahalyā menjadi batu oleh suaminya sendiri Mahārṣi Gautama, karena dewa Indra menggodanya yang datang ke pertapaan dengan manyamar sebagai Mahārṣi Gautama sendiri. Ahalyā bebas dari kutukan (pariśuddha) setelah kaki Śrī Rāma menyentuh batu tersebut, dan Ahalyā kembali menjadi suci (Mani, 1989:17). Demikian pula ceritra dikutuknya putra-putra raja Sagara oleh Mahārṣi Kapila dalam kisah turunnya sungai Gaṅgā. Putra-putra raja Sagara berhasil mencapai mokṣa Mahārṣi setelah mendapat siraman air suci Gaṅgā (Mani, 1989:17). Di dalam kitab-kitab Purāṇa sangat banyak ceritra tentang kutukan, bahkan para Dewa juga mengalami hal yang sama.

Vijayalakṣmī berubah menjadi Laṅkalakṣmī , karena kutukan Dewa Brahmā. Vijayalakṣmī adalah salah satu dari Lakṣmī penjaga kekayaan Dewa Brahmā. Suatu hari, salah satu dari padanya lalai melaksanakan tugasnya.Dewa Brahmā sangat marah dan mengutuknya, “Kamu pergi ke tempatnya Rāvaṇa dan jaga menaranya!”. Ia dengan kerendahan hati memohon untuk mengampuni kutukan tersebut. Brahmā bersabda: “Pada saat inkarnasi Śrī Rāma, seorang pahlawan kera bernama Hanumān akan menuju Laṅka dalam usaha mencari istri Śrī Rāma, yang telah diculik oleh Rāvaṇa, dan ia akan menabrakmu. Pada saat itu kamu akan dibebaskan dari kutukan dan kamu akan segera kembali kemari!” Menurutnya, Vijayalakṣmī lahir di Laṅka dengan nama Laṅkalakṣmī . Ketika Hanumān terbang menuju Laṅka, ia mencegahnya, dan saat itu Hanumān menabraknya jatuh ke bumi (Kaṁpa Rāmāyaṇa, Sundara Kāṇda) (Titib, 2004:184)

Suatu hari Brahmā memuja Sang Hyang Śiva dan memohon kesediaannya untuk menjadi putranya sendiri. Sang Hyang Śiva tidak berkenan atas permintaan tersebut. Śiva marah dan mengutuk, “Saya akan menjadi anak anda. Tetapi saya akan menebas wajah anda yang ke-5”. Sejak saat itu Dewa Brahmā hanya memiliki 4 wajah (Caturmukha) (Titib, 2004:199). Demikian cukup banyak śapatha yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab Purāṇa.

Śapatha atau kutukan dapat ditemukan tidak hanya dalam karya sastra. Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja baik di India, di Nusantara, termasuk di Bali ditemukan informasi tentang kutukan tersebut. Bahkan dalam lontar-lontar babad (ceritra-ceritra leluhur) di Bali ditemukan juga hal itu dan umumnya disebut dengan bhī ṣama yang juga di dalamnya terdapat śapatha. Śapatha dapat diakhiri dengan berbagai upacara (ritual, seperti prayaścitta, nilapati atau daṇḍakalêpasan) dan pertapaan (termasuk pula berbagai bentuk puasa) yang dilakukan dengan tekun.

Penutup

Demikian uraian singkat tentang setan, dosa, dan kutukan dalam perspektif Hindu tentunya masih banyak lagi yang perlu diperdalam dan hal yang terpenting bahwa setan jangan mempengaruhi pikiran kita, sehingga tidak melakukan dosa, apalagi perbuatan yang dianggap terkutuk oleh masyarakat.

Daftar Pustaka

Apte, Shivram Vaman.1987. The Student English-Sankrit Dictionary. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Dvivedi, K.D. 1990. The Essennce of the Vedas. Gyanpur, Varanasi: Vishva Bharati Research Institute.

Kane, P.V.1974. History of Dharmasastra Vols. II. 1, Poona India: Bandarkar Oriental Series.

Klostermaier, Klaus K. 1990. A Survey of Hinduism. New Delhi, India: Munshiram Manoharlal.

Macdonell, A.A. & Keith, A.B.I-II.1982. Vedic Index of Names and Subjects. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Mani, Vettam.1989. Puranic Encyclopaedia. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Maswinara, I Wayan. 2003. Bhagavadgita, Teks dan Terjemahan Inggris dan Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramita.

Pudja, G. & Sudharta, Tjokorda Rai. 2004. Manawa Dharmasastra, Weda Smrti, Kompedium Hukum Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

Radhakrishan, Sarvepali.1990. Principal Upanisads. Bombay-New Delhi, India: Oxford University Press.

Sudharta, Tjokorda Rai.2003. Slokantara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjamahan dan Ulasan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made. 2004. Purana, Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made.2003. Veda, Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Zoetmulder, P.J.,1995.Kamus Jawa Kuna-Indonesia. 2 Jilid. Terjemahan Darusuprapta, Sumarti Suprayitna, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

=======

" sathyamvada dharmacara-sampaikan kebenaran dengan cara yang benar"

Selasa, 25 Agustus 2009

Manah

Manah
(pikiran)

79. Maka kesimpulannya, pikiranlah yang merupajan unsur yang menentukan; jika penentuan perasaan hati telah terjadi, maka mulailah orang berkata, atau melakukan perbuatan; oleh karena itu pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya.

80. Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik ataupun yang buruk; oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya/pengendaliannya.

81. Keadaan itu demikianlah : tidak berketentuan jalannya, banyak yang dicita-citakan, terkadang berkeinginan, terkadang penuh kesangsian; demikianlah kenyataannya; jiak ada orang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu beroleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain.

82. Dan lagi sifatnya itu, bahwa mata dikatakan dapat melihat pelbagai barang, tiada lain hanya pikiran yang menyertai mata itu memandang; maka jika pikiran bingung atau kacau, tidak turut menyertai mata sungguhpun memandang kepada suatu barang, tidak terlihat barang itu olehnya, sebab pikiranb itulah sebenarnya yang mengetahui; sebab itu maka sesungguhnya pikiranlah yang memegang peranan utama.

83. Inilah sesungguhnya yang harus diperhatiakn : adalah bagian tubuh wanita, yang tidak layak diceritakan tempatnya, sangat dirahasiakan benar, dan adalah luka basah yang berlubang dalam yang dirahasiakn si wanita, dan luka itu apakah bedanya, jika direnungkan baik-baik (luka dengan bagian tubuh wanita itu yang dirahasiakan itu ?) : maka tersesatlah pikiran orang yang olehnya yang menganggap kedua barang itu berbeda, disebabkan oleh kebingungan pikirannya; oleh sebab itu pikiranlah yang sebenarnya memegang peranan utama.

84. Dan lain lagi, adalah yang dinamakan mukhasawa, yaitu air liur yang menggiurkan hati pria dan wanita yang sedang berciuman bibir dengan bibir, jika diperhatikan baik-baik mukhasawa itu tidak ada bedanya dengan air liur biasa, namun jika air liur disebut, orang tidak suka, jijik apabila dinamakan mukhasawa, suka senanglah orang itu; bukanlah orang sesungguhnya memperdaya diri sendiri dengan penggunaan nama jika demikian; nama itu adalah buatan orang; sesungguhnya sangat cepatlah pikiran itu berubah-ubah adanya.

85. Lihatlah yang lain, sekalipun hanya satu barangnya, akan tetapi berbeda juga tanggapan tiap-tiap orang terhadapnya, nyatanya sebagai buah dada seorang ibu, berbedalah tanggapan si anak yang mencintai si ibu dari pada tanggapan si ayah; jadinya pikiranlah yang membuat perbedaan itu.

86. Ini contohnya lain lagi; ada yang biku yang melakukan priwradjaka - brata, yaitu mengembara mencari kesempurnaan hidup; ada lagi si kamuka, besar nafsu doyan kepada wanita; ada pula serigala, ketiganya berbeda tanggapannya. "mayat" kata sang biku peminta-minta berkeliling, karena insaf akan hakekat sesuatu tidak kekal; berkata si pencinta wanita : "sungguh menggairahkan wanita ini"; maka si serigala berkata : "sungguh daging lezat, jika dimakan"; disebabkan oleh bingung atau kacaunya pikiran, maka yang menimbulkan adanya tanggapan perbedaan terhadap sesuatu barang yang berbeda-beda pula.

87. Dan lain lagi, hendaknya anda selalu ingatm bahwa kesucian pikiran orang diikuti oleh tindakan atau perbuatannya pada setiap hal; nyatanya : seorang ayah yang mencium istrinya, dan diciumnya pula anaknya, namun berbeda perasaannya sang ayah itu selagi ia mencium kedua orang itu, meskipun sama bersandarkan hati suka (senang); jadinya pikiranlah yang berupakan sebab, alasan akan perbedaan (dalam melakukan) perbuatan itu.

Trikaya

Trikaya

(pikiran, perkataan, perbuatan)

73. Adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan; perinciannya; gerak pikiran, tiga banyaknya; perilaku perkataan, empat jumlahnya; gerak tindakan; tiga banyaknya; jadi sepuluh banyaknya, perbuatan yang timbul dari gerakan badan perkataan dan pikira; itulah patut diperhatikan.

74. Tindakan dari gerak pikiran terlebih dulu akan dibicarakan, tiga banyaknya, perinciannya : tidak ingin dan dengki pada kepunyaan orang lain, tidak bersikap gemas kepada segala makhluk, percaya akan kebenaran ajaran karmaphala, itulah ketiganya perilaku yang merupaka pengendalian hawa nafsu.

75. Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong (tak dapat dipercaya); itulah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan dipikir-pikir akan diucapkan.

76. Inilah yang tidak patut dilakukan : membunuh, mencuri, berbuat zina; ketiganya itu jangan hendaknya dilakukan terhadap siapapun, baik secara berolok-olok, bersenda gurau, baik dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari saja ketiganya itu.

77. Sebab yang membuat orang dikenal, adalah perbuatannya, pikirannya, ucapa-ucapannya; hal itulah yang sangat menarik perhatian orang, untuk mengetahui kepribadian seseorang; oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana, perkataan dan pikiran.

78. Dikatakan amat sukar untuk menterapkan sifat guna (satwa) dalam perbuatan, perkataan, dan pikiran; meskipun hal itu merupakan kesulitan yang amat besar, seyogyanya janganlah hal itu dianggap penghalang merupakan kesulitan (harus terus berusaha sampai berhasil).

TEH Manis Menambah ASI

TEH Manis Menambah ASI

Jakarta, Kamis

Menyusui memang kewajiban setiap ibu. Air susu ibu (ASI) yang cukup akan membantu perkembangan otak, pertumbuhan bobot dan tinggi badan anak, serta menambah kekebalan tubuh si buah hati.

Sayangnya, lemahnya kucuran ASI sering menjadi masalah bagi para ibu yang tengah menyusui. Terutama, mereka yang sehari-hari harus bekerja di luar rumah.

Hal itu juga saya alami tatkala menyusui anak pertama. Ketika memasuki bulan keempat, produksi ASI mulai tidak mencukupi. Tak jarang ia menangis karena air susu yang keluar minim. Saya pun menderita kesakitan pada bagian payudara karena ia tetap mengisap puting saya meskipun ASI sudah terkuras habis.

Dari pengalaman itu, ketika anak kedua lahir, saya berusaha keras agar ASI tetap mencukupi. Di sela-sela jam kantor saya sempatkan pulang untuk menyusui, meskipun jarak kantor - rumah cukup jauh dan memakan waktu perjalanan sekitar 30 menit. Dengan cara ini sirkulasi ASI terus berlangsung dan kedekatan ibu dan bayi terjaga dengan baik.

Selain itu, saya berprinsip gizi dan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi si ibu juga berperan penting. Untuk mencukupi kebutuhan saya dan bayi, saya makan secara teratur dengan kualitas dan kuantitas lebih dari ibu-ibu yang tidak menyusui. Minumnya dalam sehari minimal 11 gelas untuk mendukung proses pembentukan ASI.

Yang tak kalah penting, sebelum dan setelah menyusui saya selalu minum teh manis hangat ditambah dengan beberapa potong kue kering. Hasilnya, setiap kali menyusu, bayi saya menikmati sekali ASI yang diminumnya. Dia pun segera melepaskan puting susu saya begitu ASI habis karena sudah kenyang. (intisari)

Catur Warna

55. Brahmanah adalah golongan pertama, menyusul ksatria, lalu wesia; ketiga golongan itu sama-sama dwijati; dwijati artinya lahir dua kali, sebab tatkala mereka menginjak masa kelahiran yang kedua kali, adalah selesai mereka menjalani upacara pensucian (pentahbisan), itulah sebabnya mereka itu ketiga-tiganya disebut lahir dua kali; adapun sudra yang merupakan golongan ke-empat, disebut ekajati: lahir satu kali; tidak boleh dikenakan kepadanya bratasangskara; tidak diharuskan melakukan brahmacari; demikian halnya keempat golongan itu; itulah ynag disebut caturwarna, tidak ada golongan yang kelima.

Catatan : Tentang uraian no. 55 tersebut di atas ada terdapat dalam manusmrti bagian X ayat 4 sebagai berikut : "golongan brahmanah, ksatria dan wesia adalah golongan dwijati, dua kali terjadi tapi golongan yang keempat, golongan sudra, hanya mempunyai satu kelahiran saja; tidak ada golongan kelima".

56. Berikut inilah dharma sang brahmana; mempelajari Weda, mengadakan upacara kebaktian atau pujaan, memberikan amal sosial, berkunjung ke tempat-tempat suci, memberikan ajaran-ajaran (penerangan agama), memimpin upacara dan dibenarkan menerima derma.

Catatan : akan dharma sang brahmana menusmrti bagian I ayat 88 mengatakan : kepada sang brahmana ditentukan mengajar dan mempelajari Weda, mengadakan kebaktian untuk kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain, memberi dan menerima derma atau sedekah "(Thelawas of Manu, Oxford, Clarendon Press 1886).

57. Ini adalah brata sang brahmana, dua belas banyaknya, perinciannya : dharma, satya tapa, dama, wimarsaritwa, hrih, titiksa anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama, itulah perinciannya sebanyak dua belas; dharma dari satyalah, sumbernyatapa artinya "Carira sang-cosana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu; dama artinya tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri, wimatsarita artinya tidak dengki-irihati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya berarti tidak berbuar dosa, yajna adalah mempunyai kemauan mengadakan pujaan; dana adalah memberikan sedekah, dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksama berarti tahan sabar dan suka mengampuni; itulah brata sang brahmana.

1) "dama'upacama" berarti pula penaklukan hawa nafsu,

2) "wimatsaritwa" berarti pula; tidak serakah tidak mementingkan diri sendiri (egois),

3) "hrih" berarti pula kerendahan hati, kesopanan,

4) ‘titiksa" berarti pula sabar, tahan sabar (tidak resah),

5) "anasuya" berarti pula a.1. tidak berhati marah, tidak bertabiat jahat (tan dosagrahi)

6) "ksama" berarti pula a.1. kehendak hati suka mengampuni, memaafkan.

58. Maka yang harus dilakukan oleh sang ksatria; harus mempelajari Weda, senantiasa melakukan korban api suci, mengadakan upacara kebaktian, menjaga keamanan negara, mengenal bawahannya sampai sanak keluarga dan laum kerabatnya, memberikan sedekah; jika ia berbuat demikian, tingkatan alam sorga akan diperolehnya kelak.

Catatan : Manusmrti bagian I ayat 89 menyebutkan "kepada orang ksatria dititahkan untuk melindungi rakyat, melakukan pemberian hadiah, mengadakan upacara kebaktian, mempelajari Weda dan menjauhkan diri dari kesenangan nafsu" (The laws of Manu, Oxford, Clarendon Press 1886).

59. Yang patut dilakukan oleh sang waisya : ia harus belajar pada sang brahmana, maupun pada sang ksatria dan hendaklah ia memberikan sedekah pada saaatnya; waktu persedekahan tiba, pada hari yang baik, hendaklah ia membagi-bagikan sedekah kepada semua orang yang meminta bantuan kepadanya, dan taat mengadakan pujaan kepada tiga api suci, yang disebut Tryagni yaitu tiga api suci, perinciannya adalah : ahawaniya, garhaspatya dan citagni; ahawaniya artinya api tukang tukang masak untuk memasak makanan, garhaspatya artinya api upacara perkawinan; itulah api yang dipakai saksi pada waktu perkawinan dilangsungkan; citagni artinya api untuk membakar mayat, itulah yang disebut tig aapi suci; api itulah harus dihormati dan dipuja oleh sang waisya; perbuatannya demikian itu menyampaikan dia ke alam sorga kelak.

Catatan : Triagni = agnitreta, urutannya : ahawaniya, garhapatya dan daksinagni; citagni (cita-agni adalah api tersendiri, api pembakaran mayat, lihat kamus Juynboll hal 195, cita = unggun tempat pembakaran mayat.

Manusmrti bagian I ayat 90 menyebutkan yang harus dilakukan orang waisya sebagai berikut : "memelihara hewan, melakukan pemberian hadiah (sedekah), mengadakan upacara kebaktian, mempelajari sastra (weda), berniaga, meminjamkan uang dan mengusahakan tanah", penghormatan kepada api suci tidak disebutkan.

60. Akan perilaku sang sudra, setia pengabdi kepada brahmana, ksatria dan waisya, sebagaimana harusnya; apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya maka terhapuslah dosanya dan berhasil segala usahanya.

61. Jika da hal yang demikian keadaannya : raja yang pengecut, brahmana doyan segala makanan, waisya yang tidak ada kegiatan dalam pekerjaan berniaga, berjual beli dan sebagainya, sudra enggan, tidak suka mengabdi kepada triwarna, pandita yang bertabiat jahat, orang yang bekelahiran utama nyeleweng dari hidup sopan santun, brahmana yang curang dan wanita yang bertabiat nakal dan berlaku jahat.

62. Lain lagi wanaprastha dan sejenisnya, yaitu orang-orang yang mempersiapkan diri untuk memperoleh kelepasan (moksa), akan tetapi orang itu tidak lenyap nafsu berahinya, malahan ia memasak makanan hanya bagi kepentingan dirinya sendiri saja, mencemarkan tempat-tempat suci, yaitu tempat memperoleh ajaran-ajaran suci, angkara murka, tidak mengindahkan segalal yang mengakibatkan kebahagiaan, kerajaan tanpa raja, seorang kepala rumah tangga tidak mengasihi anak-anaknyaa; pun pun tidak memperdulikan keadaan masyarakat; sedemikian banyaknya hal-hal yang menimbulkan prihatin; terang nyata mereka itu pasti akan menemui malapetaka

63. Inilah perilaku keempat golongan yang patut dilaksanakan : arjawa, jujur dan terus terang; anrcangsya, artinya tidak nrcangsya; nrcangsya maksudnya mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan kesusahan orang lain, hanya mementingkan segala yang menimbulkan kesenangan bagi dirinya; itulah disebut nrcangsya; tingkah laku yang tidak demikian, anrcangsya namanya; dama, artinya dapat menasehati dirinya sendiri; indriyanigraha, mengekang hawa nafsu; keempat perilaku itulah yang harus dibiasakan oleh sang caturwarna; demikian sabda bhatara Manu.

*) Nrcangsya banyak artinya, kesemuanya menunjukkan tingkah laku yang kejam, merugikan sesama manusia, dalam keadaan tidak mengenal kondisi ketuhanan.

64. Inilah yang benar-benar harus dikuasai : ahimsa : tidak menyakiti atau tidak membunuh : satya, berkata benar, tidak berniat jahat terhadap makhluk apapun, siklan, tahan uji; si tan paleh, tidak alpa/lengah; orang yang memiliki semuanya itu sesungguhnya telah mendapatkan kebahagiaan.

65. Sebab selama ketidak jujuran menjadi dasar perbuatan, terang itu adalah alam maut, yang tidak mengakibatkan terlepas dari ikatan hidup duniawi; akan tetapi, jika arjawa, (ketulusan hati) dasar perbuatan itu, tetnu Brahmaloka tercapai, tempat menikmati kebebasan (moksa); demikianlah dalam keseluruhannya jalan ikhtiar atau cara berpikir; tiada guna banyak bicara; itulah yang merupakan waton (dasar kekuatan) pikiran'.

66. Maka sifat yang disebut tidak mementingkan diri sendiri, itulah dharma yang utama; sifat tahan uji adalah kesaktian yang hebat; kapandaian anda membawa diri tidak melupakan sesama, apalagi anda yakin (percaya) akan adanya atma, itulah disebut pengetahuan mystik yang sangat luhur; maka yang disebut hakekat brata (janji atas diri) adalah satya (kesetiaan) saja adanya.

67. Inilah keburukannnya nrcangsa (mementingkan diri sendiri) tidak disukai dalam masyarakat; orang yang papa hina sekalipun tidak menyukainya; sebagai orang menghindari duri, smuru kering, ataupun api; demikianlah semua orang sesungguhnya meninggalkan orang yang nrcangsa itu.

68. Keutamaan dama adalah demikian; dama artinya ketenangan hati, yang menyebabkan orang sadar, sanggup menasehati diri sendiri; itu lebih utamadari dana; yang dinamai dana itu membawa pahala nama harum dan kedudukan tinggi mulia; namun dana itu kalah oleh dama; sebab orang yang dermawan, yaitu orang yang melakukan pemberian sedekah (dana) dapat terjadi ia tidak mempunyai dama, sehingga dapat dipengaruhi oleh kemarahan dan lain-lain sebagai itu; akan tetapi orang yang memiliki dama, ketenangan hati, niscaya ia tidak tersesat, karena senantiasa sadar; oleh karena itu lebih utama dama daripada dana.

69. Dan lagi bukan orang yang tubuhnya basah karena dibasuh dengan air, disebut mandi melainkan orang yang disebut sungguh-sungguh mandi, sebenarnya adalah orang yang memiliki dama, yang juga disebut danta (suci); orang yang demikian itulah benar-benar mandi menurut kata sang pandita, suci bersih lahir bathin.

70. Beginilah perihal pandita (orang yang memiliki sifat dama), ia tidak bohong, tidak bergiran hati jika mengalami kesenangan, tidak bersedih hati sekalipun tertimpa kedukaan, mendalam pengetahuannya tentang filsafat, sanggup menasehati dirinya sendiri, sebab memiliki dama ia disebut danta.

71. Inilah lagi akan diuraikan, nafsu yang dianggap penyebab sorga ataupun neraka; keterangannya, jika nafsu itu dapat dikuasai pengekangannya, itulah merupakan sorga namanya; apabila tidak dapat dikuasai pengekangannya, itulah merupakan neraka.

72. Pahala dari pengekangan nafsu itu, adalah dirghayusa (panjang umur), tingkah laku baik, kuat pada yoga, kesaktian, kemasyhuran atau nama harum, dharma, artha, itulah yang akan diperoleh, sebagai pahala dapat dikuasai hawa nafsu itu.

Minggu, 02 Agustus 2009

titik akupreser

1. Efek : mengurangi rasa tegang di kepala.Titik yang terletak di puncak kepala ; pertemuan antara garis yang menghubungkan kedua telinga dan garis yang ditarik dari bagian tengah hidung ( titik 1 a ).

2. Efek : mengurangi nyeri akibat migren dan nyeri mata.Titik yang terletak 1 ibu jari dari ujung alis mata dan sudut luar mata ( titik 1 d )

3. Efek : mengurangi nyeri kepala migren.Titik yang terletak 2 jari di atas telinga ( titik 1 e ).

4. Efek : mengurangi nyeri kepala bagian depan dan mata pedih.Titik yang terletak di tengah ,1 jari di atas batas rambut ( titik 1 b ).

5. Efek : mengurangi nyeri kepala bagian depan dan nyeri kepala akibat hidung tersumbat.Titik yang terletak di tengah antara dua alis ( titik 1 c ).

6. Efek : mengurangi nyeri gigi dan pembengkakan di muka.Titik yang terletak di depan sudut tulang rahang ( titik 1 f ).

7. Efek : mengurangi nyeri gigi, nyeri pada wajah.Titik yang terletak pada tulang pipi. Di depan lubang telinga ( titik 1 g ).

8. Efek : meningkatkan konsentrasi dan menyeimbangkan pikiran anda Titik 1a ..


9. Efek : mengurangi rasa tegang di dahi dan nyeri sekitar mata.Titik yang terletak di bagian dalam alis mata, di atas sudut mata bagian dalam ( titik 2 a ).

10. Efek : mengurangi nyeri kepala, migren dan mata pedih.Titik yang terletak di sudut mata bagian luar ( titik 2 b ).

11. Efek : menghilangkan nyeri kepala bagian depan dan penglihatan kabur.Titik yang terletak di dahi sekitar 1 ibu jari di atas bagian tengah alis ( titik 2 c ).


12. Efek : mengurangi nyeri kepala dan leher yang kaku.Titik yang terletak di bagian belakang kepala, pada perbatasan lekukan antara bagian dasar tengkorak dengan otot leher (titik 3a).

13. Efek : merupakan titik yang sangat berpengaruh pada kesehatan sendi di seluruh tubuh, meningkatkan kekuatan tubuh, tulang dan sendi yang sehat.Titik yang terletak di belakang leher, sejajar dengan pundak, 2 jari di samping tulang belakang. ( titik 3 b ).

14. Efek : mengurangi kekakuan dan nyeri di daerah leher dan pundak .Titik yang terletak di titik tertinggi dari pundak ( titik 3c )

15. Efek : mengurangi nyeri di daerah pundak dan punggung atas.Titik yang terletak di puncak dari pundak, perbatasan dengan leher ( titik 3c ).


16. Efek : mengurangi nyeri kepala dan mata pedih Titik yang terletak di tengah segitiga yang dibentuk oleh tulang ibu jari dan jari telunjuk ( titik 4 a )..

17. Efek : mengurangi kecemasan. Catatan : jangan menekan titik ini terlalu keras pada wanita hamil.Titik 4a .

18. Efek : mengurangi nyeri kepala dan leher kaku.Titik yang terletak di belakang pergelangan kaki ( titik 5 a ) .

19. Efek : mengurangi nyeri di tulang belakang dan kaki.Titik yang terletak di bagian belakang pergelangan kaki ( titik 5a ).


20. Efek : merupakan titik penguat sistem pencernaan dan mengurangi nyeri kepala akibat ketidakseimbangan sistem pencernaan, intoleransi makanan, dan kelelahan.Titik yang terletak 4 jari di bawah tempurung lutut ( titik 6 a ) .

21. Efek : mengurangi nyeri migren, penglihatan kabur dan nyeri mata.Titik yang terletak di atas telapak kaki, 2 jari di atas sendi jari kaki, antara jari ke 4 dan 5. ( titik 6 b ).

22. Titik-titik untuk kesehatan pergelangan kaki ( titik 6b, 6c ) ).

23. Efek : menguatkan tendon dan otot pada seluruh tubuh, terutama : sendi kaki dan menguatkan otot kaki.Titik yang terletak di bagian luar dari kaki, di atas permukaan pertemuan antara 2 tulang ( titik 6 c ).

24. Efek : mengurangi nyeri dan kekakuan di lutut.Titik yang terletak di bawah lutut , pada lekukan tulang ( knee acupoint).

25. efek mengurangi nyeri di lutut dan tungkai bawah.Titik yang terletak di belakang pergelangan kaki ( titik 5a ). Efek : mengurangi nyeri dan menguatkan pergelangan kaki.Titik yang terletak di belakang pergelangan kaki ( titik 5a ) :

26. Efek : mengurangi nyeri dan pembengkakan di pergelangan kaki.Titik yang terletak pada bagian luar dari pergelangan kaki dan di bagian luar dari tendon ( titik 6c ).


27. Titik yang terletak di bagian luar dari lengan anda. 3 jari dari pergelangan tangan , di lekukan antara dua tulang. ( titik 7 a ). Efek : mengurangi nyeri akibat migren dan nyeri di pipi.

28. Titik yang terletak di bagian luar dari tangan, 3 jari di atas pergelangan tangan, di antara kedua tulang ( titik 7 a ). Efek : meningkatkan mobilitas dari siku dan mengurangi nyeri di siku, lengan dan jari tangan.

29. Titik yang terletak di permukaan luar pergelangan tangan. Pada lekukan antar tulang, jika pergelangan tangan dilekukkan ke arah atas , sejajar dengan jari manis ( titik 7 b ) . Efek : mengurangi nyeri di pergelangan tangan, telapak tangan dan jari-jari.


Pada penekanan daerah muka dilakukan pada sisi yang tidak sakit.

1. Titik yang terletak di depan siku tangan, pada saat siku ini ditekuk ( titik 8 a ). Efek : mengurangi nyeri gigi dan nyeri yang ada di mulut.

2. Titik 8 a. Efek : Menguatkan siku tangan

3. Titik yang terletak di dekat lipatan siku , pada saat siku dibengkokkan ( titik 8 a ) . Efek : menghilangkan nyeri dan kekakuan pada tubuh bagian atas.

Kesehatan sendi

Beberapa acupoints dapat membantu menyehatkan sendi dan memperkuat sendi di seluruh tubuh. Beberapa acupoints juga membantu menguatkan otot yang menunjang sendi.

1. Titik yang terletak di bagian belakang lutut. 4 jari di atas tulang kaki ( titik 9a ). Efek : menguatkan tulang di seluruh tubuh, khususnya tulang dan sendi lutut.

2. Titik yang terletak di bagian belakang lutut , diantara tendon ( titik 9a ). Efek : menghilangkan nyeri di daerah kaki dan tulang belakang.


Siku tangan

Pergelangan tangan dan tangan

  1. Titik yang terletak antara tendon di sisi dalam tangan, 3 jari di atas pergelangan tangan ( titik 10 a ). Mengurangi nyeri di siku , pergelangan tangan dan merilekskan otot di lengan bawah.
  2. Titik yang terletak di dekat pergelangan tangan sejajar dengan jari ke 5 ( titik 10 b ). Efek : membuat rileks tubuh anda. Merupakan titik kunci untuk mengurangi segala kecemasan dan gangguan tidur.
  3. Titik yang terletak di antara tendon , tiga jari di atas pergelangan tangan ( gambar 10a ). Efek : mengurangi kecemasan dan membuat rileks tubuh anda

Kesehatan tulang belakang.

Untuk menyehatkan tulang belakang dapat dilakukan penekanan titik-titik untuk kesehatan sendi. Ditambah dengan beberapa titik berikut :

  1. Titik- titik yang terletak di bagian belakang tubuh ( titik 11 a ). Untuk penekanan titik- titik daerah ini dapat menggunakan 2 buah bola tenis yang dimasukkan dalam kaus kaki dan diletakkan dibelang punggung .Efek : mengurangi nyeri pinggang bawah.


Kesehatan Sendi pinggul

  1. Titik yang terletak di bagian pinggul anda ( titik 11b ) . Efek : meningkatkan mobilitas dan mengurangi nyeri.
  1. Titik yang terletak di dasar telapak kaki, pada bagian lekukan dekat dengan tonjolan telapak kaki ( titik 12 a ). Efek : megurangi nyeri pada telapak kaki.